SINARPAGINEWS.COM JAKARTA – Wacana pemerintah melakukan pembukaan hutan seluas 20 juta hektare untuk genjot produksi pangan berpotensi akan menyebabkan kerugian ekologis dan ekonomi yang signifikan.
Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Ibnu Tokan menyampaikan hal itu akan berdampak pada kehilangan karbon dan perubahan kapasitas infiltrasi air.
“Hutan tropis menyimpan karbon dalam jumlah besar, baik di biomassa atas tanah seperti pohon dan vegetasi, maupun di tanah,” kata Ibnu kepada RMOL, Selasa, 14 Januari 2025.
Lanjut dia, rata-rata setiap hektare hutan yang dibuka akan kehilangan karbon sebesar 300 ton dari biomassa dan 400 ton dari tanah, menghasilkan total kehilangan karbon sebesar 700 ton per hektar. Jika dihitung untuk seluruh area pembukaan, total kehilangan karbon mencapai 5 miliar ton.
“Konsekuensi ekonomi dari kehilangan ini sangat besar. Dalam konteks perdagangan karbon, di mana harga karbon berkisar antara 10 hingga 30 dolar AS per ton CO?e, nilai ekonomi yang hilang dari pelepasan karbon tersebut dapat mencapai 183,5 dolar AS hingga 550,5 miliar dolar AS,” ungkapnya.
Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga hutan sebagai aset ekonomi yang potensial dalam skema perdagangan karbon global.
Selain itu, jelas Ibnu, hutan juga memiliki peran penting dalam siklus hidrologi, khususnya dalam mendukung infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Pada lahan berhutan, sekitar 50 persen air hujan mampu terserap, membantu mengisi cadangan air tanah dan mengurangi risiko banjir.
“Tanpa hutan, laju infiltrasi turun drastis menjadi hanya 20 persen, meningkatkan risiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau,” bebernya.
“Oleh karena itu, pemerintah harus mencari aspek pembiayaan lain untuk program swasembada pangan dan energi demi menjaga hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia dari pada membabat hutan seluas 20 juta hektare,” tegas Ibnu.
Ia menyampaikan bahwa Indonesia termasuk 10 Negara penyerap karbon terbesar di dunia dan negara-negara maju dalam Paris Agreement akan memberikan insentif 100 miliar dolar AS per tahun kepada negara-negara yang menyimpan Carbon Capture and Storage. Pembiayaannya dituangkan lewat instrumen Green Bond.
Green bond adalah obligasi berwawasan lingkungan yang diterbitkan untuk membiayai proyek-proyek ramah lingkungan dan juga merupakan salah satu instrumen keuangan yang dapat digunakan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Mengutip pernyataan aktivis kedaulatan pangan India, Vandana Shiva, Ibnu menyebut 80 persen pangan dunia dipasok oleh pertanian keluarga (family farming) dengan hanya menggunakan 25 persen saja dari total lahan pertanian dunia. Pertanian besar skala industri, sebaliknya memakai 75 persen lahan untuk memproduksi hanya 20 persen pangan.
“Data dari FAO (Food and Agriculture Organization) tidak jauh berbeda, memperlihatkan betapa pertanian kecil justru lebih efisien dari pertanian skala besar. Menurut FAO, pertanian skala kecil menyumbang 35 persen pangan global hanya dengan memakai lahan 12 persen saja dari total lahan pertanian dunia,” bebernya lagi.
“Pemerintah harus membantu petani-petani kecil meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan mereka. Hanya jika petani makin sejahtera, swasembada dan ketahanan pangan bisa berkelanjutan,” imbuh dia.
Caranya, sambung Ibnu, dengan skema pembiayaan UMKM Ultra Mikro (BRI, Pegadaian, dan PNM) dan juga insentif dari pemerintah dengan membangun kerja sama dengan negara-negara maju.(ROL)