Sepanjang Sejarah, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Hanya Bancakan Belaka

Sepanjang Sejarah, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Hanya Bancakan Belaka Red Penulis: Dimas Madia - Pemimpin Redaksi Sinarpaginews.com. Foto: Istimewa.
KKN di Indonesia sudah menggurita dan menjadi kangker diseluruh lini, mungkin sebagian pembaca tidak merasakan hal itu. 
 
Menurut penulis, alasannya karena sedikitnya bahkan tidak adanya berita melalui siaran media terkait penegakan hukum yang membahas KKN. 
 
Padahal, dilingkungan kitapun pasti terdapat KKN yang semestinya berdampak dipenjara.
 
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah tidak ada kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. 
 
Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarabnya tidak mau diberikan. 
 
Perjalanan KKN ini sudah bermula sejak era Orde Lama, Orde Baru hingga 'Orde Reformasi' saaat ini.
 
Artinya, berhubungan hal itu, tugas kita adalah bagaimana memahamkan kader bangsa Indonesia ini agar tahu bahwa KKN adalah bagian dari persoalan bangsa yang akan berdampak kehancuran sebuah negri. 
 
Kemudian berhubungan hal ini apakah KKN bisa diberantas dengan kondisi system negeri yang ada saat ini. Pasalnya, KKN dari awal adanya Negara ini hingga saat ini tetap ada dan merajalela.
 
Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elite pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia.
 
Terlebih hingga saat ini, bahkan diduga pasti sampai kapanpun korupsi akan terjadi disetiap ranah pemerintahan.
 
Ketahuilah, dengan Korupsi suatu saat sebuah Negara akan hancur pada waktunya. Kata kunci Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) sangat layak dietalasekan pada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia. 
 
Namun, hal itu terjadi semacam telah menjadi adab para pejabat pemerintah yang dianggap bukan sebuah perbuatan dosa yang akan mendegradasikan bangsa dan kehancuran sebuah Negara.
 
Mengulas sejarah dari masa ke masa;
 
Era orde lama
 
Pada era ini, di bawah kepemimpinan Sukarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. 
 
Adapun perangkat hukum yang digunakan adalah Undang-undang Keadaan Bahaya dengan produknya yang diberi nama Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara). 
 
Badan ini dipimpin oleh AH Nasution dan dibantu oleh 2 orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
 
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan -- istilah sekarang mungkin daftar kekayaan pejabat negara. 
 
Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.
 
Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran akan tetapi langsung kepada presiden.
 
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. 
 
Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali pemerintah (Kabinet Juanda).
 
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali ditekankan.
 
Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo.
 
Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
 
Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah Operasi Budhi dimana sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. 
 
Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. 
 
Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
 
Di era itu juga menggambarkan stagnasi pemberantasan korupsi dan ketidak seriusan dalam penangannya, terlebih jika pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan terlihat akan terasa mengganggu para penguasa.
 
Era orde baru
 
Pada pidato kenegaraan, Pj Soeharto di depan anggota DPR/MPR menjelang hari kemerdekaan RI tangal 16 Agustus 1967, menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. 
 
Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
 
Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. 
 
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena diangap sebagai sarang korupsi dan ''pat gulipat''.
 
Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. 
 
Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
 
Namun komite ini hanya ''macan ompong'' karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah. 
 
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat.
 
Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Laksamana Sudomo dengan Nasution. 
 
Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara, di mana Nasution menganggap bahwa apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, maka harus dimulai dari atas.
 
Di samping itu, Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa menimbulkan bekas sama sekali.
 
Era reformasi
 
Bung Hatta pernah mengkonstatir bahwa diera pemerintahan Orde Baru (Soeharto), korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap membudaya. 
 
Pernyataan tersebut meski memperoleh tanggapan beragam dalam masyarakat, tetapi kebenarannya tidak terbantahkan.
 
Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. 
 
Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
 
Badan ini dibentuk dengan Keppres dimasa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. 
 
Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. 
 
Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
 
Disamping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi. 
 
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigana masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
 
Kita mungkin masih ingat pertemuan Gus Dur dengan Tommy Soeharto di Hotel Borobudur, padahal Tommy saat itu sedang tersangkut kasus korupsi tukar guling Goro dan penembakan Hakim Agung Syafiudin. 
 
Kemudian konglomerat Sofyan Wanandi melalui Jaksa Agung Marzuki Usman diberinya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
 
Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi ditempatkan sebagai Menneg BUMN yang dalam pola pikirnya hanya bagaimana cara menjual aset negara untuk meraih uang. 
 
Dimasa pemerintahan Megawati pula kita melihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, dimana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. 
 
Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.
 
Tak lepas diera Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), termasuk Presiden Jokowi saat ini, begitu banyak kasus korupsi yang bisa diungkit tak bisa dielakkan. 
 
Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat.
 
a. Tinjauan di ranah Legislatif
 
Menurut DATA Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004 hingga Juli 2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. 
 
Jumlah ini terbanyak ketiga, di bawah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta (399 kasus) dan pejabat eselon I-IV (349 kasus).
  
Apakah kalian percaya data dari KPK tersebut? 
 
Terakhir kita menerima berita Media Ketua KPK Firli Bahuri dilaporkan atas kasus suap, menyambung persoalan kasus BTS sekjen partai Nasdem yang menjabat sebagai Menteri Kominfo.
 
Jika kita kaji, KKN di legislative tersebut mungkin lebih mendasar itu ketika mereka mencalonkan diri (Caleg) sebagai anggota Dewan, coba tanyakan!
 
Berapa biaya kampanye mereka Nyaleg, selain membiayai membuat poster dan pamphlet, biaya publikasi di media dan oprasional lainnya, apakah harus membagi-bagi sembako dan amplop berisi uang juga kepada masyarakat dengan syarat memilihnya? Bukankah itu KKN? 
 
Lantas darimana mereka mengembalikan biaya tersebut setelah mereka menang atau terpilih? Cukupkah gaji mereka untuk mengembalikannya?
 
Kita bisa menjawab kondisi dan ruanglingkup keadaan tersebut. Artinya, mungkinkah semua anggota Dewan di Indonesia Korupsi? Jawabannya bisa jadi!
 
b. Tinjauan di ranah Yudikatif
 
Lembaga yudikatif adalah lembaga dalam sistem kekuasaan negara yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum, memberikan keadilan, dan memutuskan perselisihan hukum. 
 
Salahsatu Lembaga yudikatif tersebut adalah Kepolisian Republik Indonesia.
 
Pada tinjauan ini, penulis akan menceritakan pengalaman tersendiri, penulis adalah seorang jurnalis yang berkecimpung sejak tahun 2011 hingga saat ini, kurang lebih pada tahun 2016, penulis mulai mendalami peran jurnalistiknya disektor pemberitaan korupsi. 
 
Peran jurnalistik sebagai control sosial itu, prosesnya dilakukan penulis pada sector temuan korupsi hingga berkonsolidasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH). 
 
Pengalaman kongkrit temuan dugaan korupsi tersebut adalah anggaran Pendidikan Biaya Operasional Sekolah (BOS), 
 
jika pembaca seorang penggiat Pendidikan, atau orang yang berkecimpung didunia Pendidikan pasti sangat memahaminya, terkait penerapan/pembelanjaan dana Bos  yang syarat dengan KKN, misalnya lembar pertanggung jawaban dana BOS yang dilakukan oleh sekolah, 
 
apakah yang direkap laporan tersebut murni sesuai dengan yang dibelanjakan? Pasti tidak! Bukankah itu korupsi? Silahkan jawab sendiri!
 
Kemudian, ketika salahsatu data tersebut penulis berikan kepada APH, berdasarkan angket dan data pendukung lainnya dalam upaya Laporan dan aduan, hingga dilakukan wawancara oleh penyidik, 
 
alhasil ujung-ujungnya adalah “Delapan Enam/86” maksudnya adalah penghentian proses kasus dengan timbal balik pihak yang dilaporkan memberikan imbalan.
 
Jika kita dalami persoalan KKN terkait dana BOS tersebut bisa jadi kita sepakat, bahwa itu kemungkinan terjadi diseluruh Indonesia, dan mungkinkah juga APH diseluruh Indonesia berbuat seperti itu? 
 
Terlebih masih banyak pengalaman lainnya yang berhubungan dengan penegakan hukum yang tumpul akibat kongkalingkong? 
 
Bahkan, masih banyak kasus KKN lain di ranah Yudikatif yang lebih dahsyat, namun diduga hingga saat ini terus ditutupi Terstruktur, Sistematis dan Masih.
 
c. Tinjauan di ranah Eksekutif
 
Seperti halnya tinjauan di ranah Legislatif dan Yudikatif, penulis akan membahas Sebagian persoalannya saja, khususnya terkait di ranah Eksekutif penulis akan membahas KKN di tingkat Pemerintahan Desa, yaitu Lembaga eksekutif yang paling dekat dengan masyarakat. 
  
Artinya, tidak akan jauh-jauh mebahas KKN ditingkat Pusat ataupun Daerah.
 
Berdasarkan riset angket yang dikantongi lembaga swasta Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut pada semester I 2021,
 
pemerintah desa menjadi lembaga pelaku kasus korupsi bagian terbesar di Indonesia.
 
Mengutip peneliti ICW Lalola Easter, pada webinar pemaparan tren penindakan kasus korupsi semester I 2021, Minggu (12/9/2021), disebutkan, 
 
dari sisi sektor, aktor yang paling banyak melakukan tindak korupsi atau yang ditetapkan sebagai tersangka disemester I 2021 adalah aparat desa.
 
Mengingat anggaran yang dikucurkan untuk desa cukup fantastis yaitu Rp72 triliun pada tahun 2021 ini, beberapa rentan dan kasus yang terjadi dugaan penyalahgunaan anggaran itu diantaranya, 
 
ribuan pengadaan masker dimasa Covid 19 per desa, dana pengadaan alat darurat, dana bansos, dana BLT, anggaran covid-19, terutama anggaran DD dan ADD reguler yang setiap tahun dikucurkan Pusat dan daerah.
 
Mengulas Biaya Politik (PILKADES) di Indonesia
 
Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, khususnya tempat kelahiran penulis yang berdomisili di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 
 
biaya politik pencalonan Kepala Desa itu bisa meronggok dana pencalonnya mulai Rp500 juta hingga diatas 1 Miliar, cukup fantastis, lalu darimana modal politik tersebut bisa dikemblikan apabila terpilih.
 
Jika dikarkulasi upah atau gaji Kepala Desa/lurah berdasarkan rata-rata kabupaten-kota, saat ini hanya mencapai Rp3 juta – Rp5 Juta perbulan, selanjutnya apabila kurun waktu 1 tahun gaji kades disimpan,
 
maka, hanya berkisar sejumlah Rp60 juta, lebih jauh jika dikalikan selama 1 priode gaji tersebut disimpan, Maka Kades akan terkumpul sekira Rp240 juta, sangat jauh jika diorientasikan untuk mengembalikan biaya kampanye.
 
Lantas, darimana para Kades bisa mengembalikan modal politik pencalonan awal? Silahkan para pembaca yang menjawab dan mentafsirkan sendiri, jika dengan nalar saja potensi korupsi dapat dikaji oleh siapa saja, lalu dimana kewenangan para pengawas dan penegak hukum?, 
 
Pantas saja para kepala Desa saat ini termuat opini takut dengan wartawan dalam fungsi sosial kontrol.
 
TINDAKAN Korupsi terjadi diakibatkan sifat ketamakan dan kerakusan seseorang, selain itu korupsi juga menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. 
 
Dalam konteks bernegara, Korupsi berdampak mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pembangunan dan pelayanan pemerintahan. 
 
Artinya, ketika korupsi atau KKN itu terus terjadi bahkan relative dipelihara di negri ini, maka tunggulah kehancurannya, tidak mungkin negara dalam keadaan tidak beradab ini akan menjadi negara maju. 
 
Didalam syariat Islam, KKN adalah perbuatan rasuah yang diharamkan oleh alloh SWT, pihak-pihak yang terlibatnya diancam dengan balasan Neraka oleh sang pencipta.  
 
 
 
 

Editor: Dimas Madia

Bagikan melalui:

Komentar

KATANA4D KATANA4D KATANA4D https://materialhandling.co.id/pauca/?gacor= https://transpublika.co.id/data/?gacor= https://gkkkmalang.org/paham/?gas= https://asosiasilaundryindonesia.org/system/?slot= https://alyasa.blog.ar-raniry.ac.id/alyasa/?god= https://pedirresearchinstitute.or.id/system/?gacor= https://smknegeri2pelaihari.sch.id/siswa/?negeri= https://poskoekonomiprabu.kotaprabumulih.go.id/files/?gacor= https://nanasprabu.kotaprabumulih.go.id/assets/?slot= SLOT RAFFI AHMAD SLOT DANA TOTO SLOT GACOR MICROSTAR88 KATANA4D MACROTOTO https://wiz.or.id/wp-content/mac/ https://wiz.or.id/pages/ https://rqv.or.id/css/ https://pauca.ulian.desa.id/ https://pauca.manikliyu.desa.id/ https://www.yiab.or.id/css/ https://bsmi.or.id/pauca/ https://ylki.or.id/ra/ https://ylki.or.id/dt/ https://ylki.or.id/macro/ https://fayda.co.id/wp-content/download/ DANA TOTO SLOT RAFFI AHMAD KATANA4D KATANA4D
?>
?>
?>
  • nawalatoto
  • nawalatoto
  • nawalatoto
  • nawalatoto
  • nawalatoto
  • nawalatoto
  • tanam88
  • sembrani88
  • sembrani88
  • >
  • slot gacor
  • slot thailand
  • scatter hitam
  • idn slot
  • slot777
  • situs toto
  • slot thailand
  • situs toto
  • slot gacor
  • Slot Maxwin
  • Saudara168
  • Situs Toto
  • Situs Toto
  • Slot Gacor
  • Idn Slot
  • Slot Depo 5K
  • Saudara168
  • Slot Thailand
  • Slot777
  • Link Slot Gacor
  • Slot Demo
  • Slot Deposit 5000
  • Scatter Hitam
  • Slot Toto
  • Toto Slot
  • idnplay slot
  • Toto Togel
  • Situs Toto
  • Slot Deposit 5000
  • Scatter Hitam
  • Slot 5K
  • slot gacor
  • slot thailand
  • slot777
  • situs toto
  • slot gacor
  • situs toto
  • slot 5k
  • slot 10k
  • slot777
  • scatter hitam
  • idn slot
  • slot gacor
  • situs toto
  • idn slot
  • togel online
  • idn slot
  • slot777
  • situs toto
  • slot gacor
  • slot thailand
  • slot gacor
  • idn slot
  • situs toto
  • slot gacor
  • situs toto
  • slot thailand
  • slot gacor
  • slot gacor
  • situs toto
  • situs toto
  • slot gacor
  • slot thailand
  • slot gacor
  • situs toto
  • situs toto
  • slot gacor
  • slot thailand
  • situs toto
  • situs toto
  • slot thailand
  • slot gacor
  • scatter hitam
  • situs toto
  • slot gacor
  • situs toto
  • slot gacor
  • slot thailand
  • situs toto
  • slot gacor
  • slot thailand
  • Toto Macau
  • Slot Gacor
  • Slot Thailand
  • Bandar Togel
  • situs toto
  • slot gacor
  • Slot thailand
  • slot gacor
  • situs toto
  • situs toto
  • slot gacor
  • situs toto
  • https://tkkbp.penabur.sch.id/home/
  • https://tkkbp.penabur.sch.id/server/
  • https://kpi.koksi.id/wp-includes/certificates/
  • https://kpi.koksi.id/wp-content/uploads/
  • https://kpi.koksi.id/account/
  • https://m.pertuni.or.id/wp-admin/perpustakaan/
  • Slot gacor
  • situs toto
  • situs toto
  • slot777
  • win888
  • dewa4d
  • mpo777
  • ?>