SINARPAGINEWS.COM GARUT – Program Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK): Perspektif Hukum, Implementasi, dan Perlindungan Hak Masyarakat
Pendahuluan
Kebijakan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) lahir sebagai jawaban atas tumpang tindih pengelolaan hutan, ketidakpastian hukum, serta konflik agraria yang selama ini mengakar di kawasan hutan negara. Kebijakan ini membawa perubahan mendasar terhadap status penguasaan dan pengelolaan lahan hutan yang sebelumnya dikuasai oleh Perum Perhutani. Dalam konteks hukum, KHDPK merupakan instrumen reforma agraria yang berorientasi pada keadilan sosial dan akses legal masyarakat terhadap sumber daya alam.
Landasan Normatif KHDPK
Secara hukum, program KHDPK memiliki legitimasi kuat dalam hirarki peraturan perundang-undangan nasional:
1.Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan)
Menegaskan bahwa hutan negara dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dapat diberikan kepada pihak lain melalui mekanisme izin atau penetapan kebijakan tertentu. Pasal 4 dan Pasal 5 UU Kehutanan memberikan dasar bagi pemerintah menetapkan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan hutan lestari.
2.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (beserta perubahannya melalui UU No. 6 Tahun 2023)
Melalui penyederhanaan perizinan dan penguatan reforma agraria, UU ini membuka jalan bagi pemerintah untuk melakukan redistribusi kawasan hutan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah.
3.Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
Mengatur mekanisme pelepasan kawasan hutan, pemanfaatan hutan, dan perhutanan sosial. Pasal 147-149 secara eksplisit menegaskan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menetapkan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus untuk kepentingan sosial dan pemberdayaan masyarakat.
4.Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2021
Menjadi turunan teknis yang mengatur tata cara pengelolaan KHDPK, termasuk bentuk pemanfaatan oleh masyarakat melalui perhutanan sosial, hutan desa, dan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Dengan demikian, KHDPK bukan kebijakan ad hoc, melainkan bagian dari sistem hukum nasional yang memiliki kekuatan mengikat dan memaksa seluruh pihak, termasuk BUMN seperti Perum Perhutani.
Kedudukan Perum Perhutani: Dari Penguasa Tunggal ke Mitra Kolaboratif
Perum Perhutani selama puluhan tahun menjadi pemegang mandat utama pengelolaan hutan di Jawa dan Madura. Namun, dengan ditetapkannya kawasan tertentu sebagai KHDPK, wilayah tersebut secara hukum keluar dari area kerja Perhutani.
Pasal 147 PP No. 23/2021 menegaskan bahwa kawasan yang ditetapkan sebagai KHDPK berada langsung di bawah kendali Kementerian LHK, bukan lagi Perhutani.
Perhutani tidak memiliki dasar hukum untuk mengeklaim hak pengelolaan, kecuali diundang dalam skema kemitraan atau kerja sama baru yang disetujui pemerintah.
Dalam praktiknya, masih dijumpai fenomena perusahaan yang mengaku masih memiliki hak kelola di lahan eks-Perhutani, padahal secara hukum klaim tersebut telah gugur. Tindakan semacam ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dan berpotensi melanggar ketentuan pidana kehutanan dalam Pasal 50 jo. Pasal 78 UU Kehutanan yang melarang penguasaan kawasan hutan tanpa izin yang sah.
Mekanisme Pengelolaan oleh Masyarakat
KHDPK membuka peluang bagi masyarakat untuk memperoleh akses legal dan kepastian hak melalui beberapa skema:
1.Perhutanan Sosial
Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS): Memberikan hak kepada Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, menanam tanaman pertanian, dan menjalankan usaha produktif.
Hutan Desa: Hak pengelolaan diberikan kepada pemerintah desa untuk kepentingan masyarakat desa.
Hutan Kemasyarakatan (HKm): Kelompok masyarakat memperoleh izin untuk mengelola kawasan hutan secara berkelanjutan.
2.Redistribusi Tanah (Landreform)
Dalam hal kawasan hutan dikeluarkan dari status hutan negara, tanah tersebut dapat menjadi objek reforma agraria sesuai Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Peran Pemerintah Daerah dan Desa
1.Pemerintah Desa
Bertindak sebagai fasilitator pengajuan izin perhutanan sosial, menyusun peraturan desa tentang pemanfaatan hutan, serta memastikan pengelolaan berbasis kearifan lokal.
2.Pemerintah Daerah
Menurut Pasal 14 UU Kehutanan dan Pasal 5 UU Pemda, pemerintah kabupaten/provinsi memiliki kewenangan koordinatif, mulai dari verifikasi data, mediasi konflik, hingga pengawasan pemanfaatan hasil hutan.
Pemerintah daerah juga dapat mengalokasikan anggaran daerah (APBD) untuk memperkuat kapasitas kelompok masyarakat penerima izin KHDPK.
Fenomena Klaim Perusahaan: Analisis Hukum
Dalam praktik di beberapa daerah, termasuk di Kabupaten Garut, muncul perusahaan atau pihak tertentu yang masih mengaku memiliki hak pengelolaan atas lahan yang sudah ditetapkan sebagai KHDPK. Padahal:
Berdasarkan Pasal 147 PP No. 23/2021 dan Permen LHK No. 7/2021, seluruh hak kelola lama otomatis berakhir setelah kawasan ditetapkan sebagai KHDPK.
Perusahaan yang tetap melakukan kegiatan pengelolaan tanpa dasar hukum dapat dianggap menguasai kawasan hutan secara ilegal, dan dapat dijerat dengan Pasal 50 ayat (3) huruf a jo. Pasal 78 UU Kehutanan (pidana penjara hingga 10 tahun dan/atau denda hingga Rp5 miliar).
Masyarakat yang menemukan praktik semacam ini berhak:
Melaporkan ke Balai Gakkum KLHK atau kepolisian atas dugaan tindak pidana kehutanan.
Mengajukan gugatan perdata (Pasal 1365 KUHPerdata) untuk menuntut ganti rugi atau penghentian kegiatan.
Mengajukan permohonan sengketa administrasi ke PTUN bila ditemukan keputusan tata usaha negara yang melanggar aturan KHDPK.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Program KHDPK adalah tonggak penting dalam reforma agraria kehutanan Indonesia. Kebijakan ini menegaskan pergeseran paradigma dari pengelolaan sentralistik menuju model kolaboratif, yang memberi ruang lebih besar bagi masyarakat dan pemerintah daerah.
Namun, keberhasilan KHDPK membutuhkan:
1. Ketegasan Penegakan Hukum: Pemerintah harus menindak pihak yang masih mengklaim hak kelola di lahan eks-Perhutani.
2. Kapasitas Kelembagaan Masyarakat: Kelompok tani hutan, pemerintah desa, dan koperasi harus diperkuat secara hukum dan manajerial.
3. Transparansi dan Partisipasi: Seluruh proses pengajuan izin, distribusi lahan, dan pemanfaatan hasil hutan harus dilakukan terbuka sesuai prinsip good governance (UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Sebagai advokat dan konsultan hukum, saya menegaskan bahwa hak masyarakat dalam KHDPK dijamin konstitusi melalui Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Klaim sepihak dari pihak manapun yang bertentangan dengan norma ini bukan hanya tidak sah, tetapi melawan keadilan sosial.
Oleh : Dadan Nugraha, S.H.
Advokat – Konsultan Hukum
Penasehat Hukum/Bidang Hukum DPC GEMA PS Kabupaten Garut