SINARPAGINEWS.COM, KAB.GARUT,- Eskalasi polemik parkir liar di Kabupaten Garut kian mencapai titik didih. Menyusul resonansi kritis dari Pengamat Kebijakan Publik, Galih F. Qurbany,
Kini Sekretaris Jenderal (Sekjen) Brigade Rakyat, Asep Muhamad Toha, S.Pdi, tampil dengan analisis yang lebih mendalam, merangkai benang merah antara praktik ilegal ini dengan defisit akuntabilitas dan disfungsi struktural dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Dalam pernyataan pers eksklusif kepada redaksi HGN, Jumat (11/04/2025), Asep Muhamad Toha mengecam keras retorika Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kabupaten Garut yang menyarankan masyarakat untuk tidak membayar parkir liar.
Menurutnya, pernyataan tersebut bukan hanya simplifikasi problematik, melainkan juga manifestasi abdikasi tanggung jawab negara dalam menegakkan ketertiban umum dan melindungi hak-hak warga negara.
“Imbauan Kadishub adalah paradoks kebijakan yang mencerminkan inkapasitas negara dalam merespons secara efektif anomali tata kelola perkotaan,” ujar Asep Muhamad Toha dengan nada analitis.
“Dalam kerangka teori kedaulatan negara yang dianut, negara memiliki monopoli kekerasan yang sah dan kewajiban konstitusional untuk melindungi warga dari segala bentuk ancaman dan pemerasan.
Praktik parkir liar yang disertai intimidasi adalah pelanggaran serius terhadap prinsip negara hukum (Rechtsstaat) dan kontradiksi dengan amanat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum.”
Asep Muhamad Toha kemudian mengurai dimensi hukum dari persoalan ini. “Secara yuridis, praktik parkir liar adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang secara eksplisit mengatur mekanisme pemungutan retribusi yang sah.
Tindakan pemungutan di luar mekanisme ini adalah pungutan liar (pungli) yang dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan manajemen lalu lintas dan angkutan jalan, termasuk penataan perparkiran.
Kegagalan dalam menertibkan parkir liar menunjukkan defisit dalam implementasi kebijakan publik dan kelemahan dalam enforcement hukum.” Sekjen Brigade Rakyat ini juga menyoroti implikasi politik dan sosial dari pembiaran praktik ilegal ini. “Dari perspektif ilmu politik, maraknya parkir liar adalah indikator lemahnya good governance dan rendahnya rule of law di tingkat daerah.
Pembiaran ini menciptakan ruang abu-abu (grey area) yang subur bagi praktik patron-klien dan ekonomi informal ilegal, yang pada akhirnya mendegradasi kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Secara sosiologis, intimidasi dan pemaksaan dalam parkir liar menciptakan keresahan sosial dan melanggar hak asasi manusia, khususnya hak atas rasa aman (right to security) yang merupakan prinsip fundamental dalam negara beradab.”
Asep Muhamad Toha menuntut aksi afirmatif dan political will yang kuat dari pemerintah daerah. “Imbauan normatif tanpa tindakan represif dan preventif adalah bentuk impotensi negara.
Kami mendesak Pemerintah Kabupaten Garut untuk mengimplementasikan secara tegas Undang-Undang dan Peraturan Daerah terkait perparkiran, menindak para pelaku pungli secara hukum, dan mereformasi sistem pengelolaan parkir secara transparan dan akuntabel. Negara tidak boleh bersembunyi di balik retorika moral, melainkan harus hadir sebagai penjamin ketertiban dan pelindung hak-hak warga negara,” tandasnya dengan retorika yang kuat.
Brigade Rakyat menegaskan komitmennya untuk terus mengadvokasi isu ini, menggunakan segala instrumen hukum dan politik yang tersedia, demi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Pembiaran parkir liar, menurut mereka, adalah simtom dari penyakit struktural yang harus segera diobati agar prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan sosial dapat ditegakkan di Kabupaten Garut.