SINARPAGINEWS.COM, KAB.GARUT – Di Garut Selatan letaknya di Desa Cijambe Kacamatan Cikelet Kabupaten Garut bagian Selatan terdapat perkampungan adat yang bernuasan Islam yaitu Kampung Dukuh.
Dari sisi sejarah, menurut buku Seputar Garut karangan Suhardiman Darpan (2007),Kampung Dukuh dulunya didirikan oleh Syeikh Abdul Jalil,seorang ulama dari Sumedang di era kekuasaan Bupati Pangeran Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan (1656 – 1706).
Karena kecewa akan janji Bupati untuk menerapkan syariat Islam di tatar Sumedang yang tak pernah terlaksana (maksudnya untuk menghindari perseteruan dengan Kasultanan Banten,akhirnya dia mengasingkan diri di Cikelet, Garut Selatan. Di situlah beliau membuka perkampungan adat Dukuh berikut adat-istiadatnya.
Syeikh Abdul Jalil, menimba ilmu di tanah suci Mekkah. Setelah ilmunya cukup, gurunya meminta agar Syeikh Abdul Jalil pulang ke kampung halamannya. Namun Syeikh Abdul Jalil keberatan, dengan alasan ingin menghabiskan sisa hidupnya di Makkah. Guru Syeikh maklum dengan itikad baik muridnya. Namun ia tetap berharap supaya muridnya itu kembali ke tanah air.
Untuk itu, beliau memberinya segenggam tanah dan sekendi air suci dari Mekkah. Syeikh Abdul Jalil merupakan sosok yang taat dan patuh terhadap gurunya. Dan pada akhirnya, Syeikh Abdul Jalil pun menerima semua permintaan gurunya. Selanjutnya, sang guru berpesan supaya tanah tersebut ditaburkan di tempat yang dianggap cocok dengan nuraninya, sementara air di dalam kendi di tanam di tanah tersebut. Syaikh Abdul Jalil menyetujui, lalu ia kembali ke Mataram.
Pada suatu waktu, di Daerah Sumedang yang saat itu diperintah oleh penguasa Pangeran Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan (1656 – 1706) sedang membutuhkan seorang penghulu. Bahkan Pangeran Rangga Gempol III sampai mengirim utusan hingga ke Mataram. Oleh penguasa Mataram, ditunjuklah Syaikh Abdul Jalil untuk menjadi penghulu di Daerah Sumedang.
Setelah Syeikh Abdul Djalil menjabat sebagai penghulu selama 12 tahun, beliau berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji dan Pangeran Rangga Gempol III mengijinkan.
Ketika Syeikh Abdul Jalil sedang berada di tanah suci Mekkah, penguasa Sumedang kedatangan utusan dari Banten dengan maksud meminta agar penguasa Sumedang tidak mengabdi ke Mataram melainkan mengabdi ke Banten.
Mendengar keinginan dua utusan dari Banten itu, Pangeran Rangga Gempol III tidak langsung memutus. Namun ia minta waktu untuk mempertimbangkan. Selanjutnya, kedua utusan itu pun kembali ke Banten. Namun ketika berada di daerah Parakan Muncang, keduanya dibunuh atas perintah penguasa Sumedang, dengan alasan jika dibiarkan hidup dan tiba di Banten, dikhawatirkan akan terjadi huu-hara di Sumedang.
Setelah sekian lama di Mekkah, Syeikh Abdul Jalil kembali ke tatar Sumedang. Namun, kejadian kedatangan dan pembunuhan atas utusan dari Banten ditutup-tutupi agar tidak diketahui Syeikh Abdul Jalil. Namun informasi tersebut akhirnya diketahui juga lewat seorang tangna kanannya yang bernama Sutawijaya.
Mendengar laporan itu, Syeikh Abdul Jjalil marah dan saat itu juga ia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai penghulu dan menetap di Kampung Dukuh sekarang.
Syekh Abdul Muhyi, di dalam silsilah keturunan Bupati Sukapura, Raden Yudanegara I ini disebutkan sebagai keturunan kedua Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III dan cucu Raden Adipati Wirawangsa Wiradadaha I, Bupati Sukapurayang memerintah pada paruh pertama abad XVII.
Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah didalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah juga disebutkan bahwa ada tiga guru tarekat yang diwarisi tasawuf Pamijahan yaitu :Syekh Abdul Qadir Jaelani, Syekh Abdul Jabbar dqn Syekh Abdul Rauf Singkel.
Apabila Syekh Abdul Qadir Jaelani disebut sebagai ‘wali awal’, maka Syekh Abdul Muhyi dianggap sebagai ‘wali penutup’. Kedudukan ini memang dibuktikan oleh kenyataan bahwa setelah wafatnya, keturunan Syekh Abdul Muhyi tidak lagi menggunakan gelar Syekh. Istilah ‘wali penutup’ memang menjadi pertanyaan, sebab dalam sejarah Islam wali akan tetap ada setiap zaman, tetapi hanya para ‘wali’ yang mengetahui keberadaan seorang ‘wali’.
Sebagai keturunan raja, tidak banyak disebutkan dalam Kitab Istiqlal Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah perihal garis silsilah bapak, tetapi dijelaskan di dalam naskah lain yang disebut Sejarah Sukapura, yaitu dari Ratu Galuh. Ayah Syekh Abdul Muhyi yang bernama Lebe Warta Kusumah, nerupakan keturunan ke-6 dari Ratu Galuh.
Perkawinan Lebe Warta Kusumah (Syekh Abdul Jalil) dengan Sembah Ajeng Tangan Ziah melahirkan dua orang anak : Syekh Abdul Muhyi dan Nyai Kodrat(menjadi isteri Syekh Khotib Muwahid).
Dari Syekh Khotib Muwahid ini Syekh Abdul Muhyi mempunyai hubungan kekerabatan tidak langsung dengan Sultan Pajang, Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir), karena yang terakhir ini merupakan leluhur Sembah Khotib Muwahid.
Silsilah Bupati Sukapura menurut naskah Leiden Cod. Or. 7445 secara Genealogi dimulai dari empat orang isteri Syekh Abdul Muhyi, itupun terutama dari isteri yang pertama (Sembah Ayu Bakta) sebagai leluhur para bupati Sukapura dari pihak ibu, adalah putri dari Sembah Dalem Sacaparana.
Selain itu, R. Ajeng Halimah atau disebut juga Ayu Salamah, putri ketiga dari Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III, penguasa Sukapura (Tasikmalaya) waktu itu, dan juga adik bungsu dari Raden Yudanagara I, adalah juga salah seorang istri Syekh Abdul Muhyi. Syekh Abdul Muhyi :
. Sembah Dalem Bojong
. Sembah Eyang Samadien
. Sembah Eyang Asmadien
. Sembah Eyang Zainal Arif
. Embah Ta’limudin KH. Marjuki (Mama Prabu Cigondewah (*)
Oleh: Warya Sumirta Manggala,SE. (pemimpin Umum Sinarpaginews.Com)
Sumber: Sejarah Kampung Dukuh Cikelet Pameungpeuk.