SINARPAGINEWS.COM, GARUT – Seni Pengasuhan dan Intellectual Autonomy serta Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Daerah. Seperti layaknya seni yang mempunyai kebebasan dalam menciptakan keindahan. Maka pengasuhan sebagai suatu seni juga harus mempunyai kebebasan ragam pilihan supaya menghasilkan keindahan, keberkahan, kebahagiaan dan sampai pada tujuannya.
Seni berasal dari kata sani (Sangsekerta) yang berarti pemujaan, persembahan dan pelayanan. Seni pengasuhan berarti menempatkan pengasuhan pada hakekatnya sebagai bentuk pemujaan, persembahan dan pelayanan. Seni pengasuhan memungkinan pendekatan Insani bukan sebatas manusia.
Insani lebih memastikan pada pemujaan, persembahan dan pelayanan yang lebih dominan datang dari dalam (in side out), lebih merupakan kesadaran bukan dikendalikan atau dominan dipengaruhi pihak atau sesuatu dari luar (out side in). Seni pengasuhan lebih berusaha menghasilkan insan yang dominan pada ketaatan seperti malaikat bukan kemaksiatan seperti iblis, seperti tergambar dalam filosofi kujang sepasang.
Dengan seni maka pengasuhan tidak terjebak dalam kekakuan dan standar standar baku yang kadang mengkerdilkan keragaman dan kelimpahan sumberdaya, bahkan bisa menyebabkan kesia siaan sumber daya. Dalam seni lukis bagaimana ragam karya dihasilkan dari kebebasan kombinasi dari titik, garis, bidang dan ruang.
Zaman sekarang pengasuhan bukan sebatas orang tua dan anak, sehingga diistilahkan dengan parenting, ada banyak aspek terlibat selain orang tua dan anak yaitu lingkungan, kebijakan pemerintah lokal maupun pusat, teknologi atau digitalisasi.
Kebebasan pengasuhan dimulai dari pendekatan “kemandirian pengaruh” untuk bisa memaksimalkan olah raga, olah rasa, olah pikir dan olah ruhiyah untuk daya cipta sehingga tidak ada yang sia sia. Dimulai dengan memahami adanya BAP (Business As Proxy), BAU (Business As Usual), BOB (Business Out of the Box), BNB (Business No Box).
Bisnis sebagai suatu usaha dan urusan, dalam kontek ini sebagai BELAJAR, maka ada pilihan apakah akan BAP, BAU, BOB, BNB.
Pengasuhan BAP, Belajar As Proxy adalah pengasuhan yang tidak mengarah pada kepentingan atau tujuan yang diharapkan namun dikendalikan pihak luar menggunakan pihak internal untuk kepentingan pihak luar. Contoh pengasuhan yang membentuk generasi “KPOP”. Pengasuhan hanya jadi robot dimana “remote control nya” ada dipihak luar.
Pengasuhan BAU, Belajar As Usual adalah pengasuhan sebagai suatu compliance (kepatuhan terhadap aturan aturan atau standar standar yang telah ditetapkan). Orang tua sudah jadi kebiasaan menyerahkan pendidikan atau belajar anaknya ke sekolah.
Pengasuhan BOB, Belajar Out of the Box adalah pengasuhan yang mulai bergeser pada orang tua sebagai pemain kunci pendidikan atau proses belajar anak, dengan munculnya pendekatan sekolah alam, pendekatan home schooling. Pada dasarnya berusaha keluar dari kotak “kebiasaan”, namun belum bebas sepenuhnya karena masih ada kotaknya, dimana orang tua masih mengkhawatirkan bagaimana anaknya bekerja jika tidak punya ijazah, maka berkembanglah sekolah PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dengan ujian paket ABC.
Pengasuhan BNB, Belajar No Box adalah pengasuhan yang benar benar bebas dari kotak kotak atau ragam peraturan dan standar. Pengasuhan yang memastikan pola ULIL ALBAB, INSANI, memaksimalkan kelimpahan semesta dan kehendak bebas untuk bisa menjadikan belajar itu bukan suatu beban namun sesuatu yang membahagiakan. Pengasuhan untuk penguasaan suatu kompetensi hingga menjadi ahlinya.
BNB Bukan bagaimana ijazah dan gelar namun pada sertifikasi kompetensi. walaupun di Indonesia baru sebatas sertifikasi profesi yang diuji kompetensinya, secara undang undang mengakomodir untuk adanya otodidak namun kenyataan masih banyak LSP Lembaga sertifikasi profesi mensyaratkan ijazah bagi yang mau ikut sertifikasi.
BAP, BAU, BOB atau BNB?, masing masing ada risikonya. Disitulah masing masing ada seninya, bagaimana bisa menciptakan generasi atau insan unggul yang akan mampu membangun peradaban, membangun budaya keunggulan daerah dan nasional. Disinilah arti penting upaya perda penguatan dan pemajuan kebudayaan daerah sebagai tindak lanjut UU no 3 tahun 2023, bagaimana memastikan BNB bisa berkembang dan mendapatkan lingkungan yang kondusif sebagai bentuk nyata dari konsep “INTELLECTUAL AUTONOMY”, kemandirian intelektual melengkapi upaya otonomi daerah.
Otonomi intelektual adalah kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri dan mendasarkan pandangan pada alasannya sendiri.
Berikut Beberapa Contoh Otonomi Intelektual :
Penyelidikan Independen
Siswa dapat mengajukan pertanyaan mereka sendiri dan melakukan penelitian secara mandiri. Misalnya, seorang guru bahasa Inggris di sekolah menengah mungkin mengizinkan siswa memilih novel untuk dibaca dan mengembangkan pernyataan tesis mereka sendiri.
Berpikir Kritis
Berpikir kritis membantu orang belajar berpikir sendiri dan mendapatkan kendali atas proses berpikir mereka. Hal ini dapat membantu orang mempertahankan pendirian mereka terhadap upaya untuk meyakinkan mereka tentang berbagai hal.
Mengenali Kerentanan Epistemik
Orang yang otonom secara intelektual menyadari bahwa mereka dipengaruhi oleh bias dan prasangka pribadi, dan mereka mudah ditipu.
Menikmati Imbalan atau Menderita Hukuman
Orang yang otonom secara intelektual dapat menikmati penghargaan atau hukuman atas ide-idenya tanpa sanksi yang mempengaruhi penilaian mereka terhadap nilai ide-ide tersebut.
Contoh Lain dari Otonomi Intelektual Meliputi :
Berpikir kreatif, Menjadi mudah beradaptasi, Mempelajari cara mengelola kompleksitas dan pengarahan diri sendiri, Menjadi penasaran, Mengambil risiko, Mengembangkan pemikiran tingkat tinggi dan penalaran yang masuk akal.
Dalam kontek otonomi daerah. Intelektual autonomi adalah setiap daerah dapat mengembangkan kurikulum pendidikan atau pengasuhan disesuaikan dengan kebudayaan dan keunggulan daerah baik keunggulan komparatif maupun kompetitif.
Mari kita kawal penguatan dan pemajuan kebudayaan daerah agar lebih bisa mengarah pada keunggulan masa depan atau peradaban maju, yang kadang suka disalah artikan dengan kesenian dan ragam artefak, simbol masa lalu.