Yogyakarta Sebagai Payung Besar Kerukunan Bangsa

Yogyakarta Sebagai Payung Besar Kerukunan Bangsa Dok Humas

 


SINARPAGINEWS.COM, YOGYAKARTA - Yogyakarta adalah Indonesia mini tempat mendidik anak-anak bangsa dengan berbagai latar belakang agama, suku, budaya, ras dan glongan. Keberagaman ini dapat menumbuhkan kekuatan, di sisi lain juga bisa menciptakan kelemahan.


"Hal itu tergantung bagaimana masyarakat Yogyakarta menangani persoalan ini," kata Anggota MPR RI, M Afnan Hadikusumo, pada acara Sosialisasi Empat Pilar Bernegara yang digelar Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Yogyakarta di Aula Kantor Perwakilan DPD RI DI Yogyakarta, Sabtu (15/6/2024).


"Kita tidak menafikan terjadinya konflik di masyarakat, sebab konflik merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat," kata Afnan.


Bagi Afnan, konflik dapat bersifat tertutup (latent) dan dapat pula bersifat terbuka (manifest). "Konflik berlangsung sejalan dengan dinamika masyarakat," tandasnya. 


Hanya saja, terdapat katup-katup sosial yang dapat menangkal konflik secara dini sehingga tidak berkembang meluas. Namun ada pula faktor-faktor di dalam masyarakat yang mudah menyulut konflik menjadi berkobar sedemikian besar sehingga memporakporandakan rumah, harta benda lain dan mungkin juga penghuni sistim sosial tersebut secara keseluruhan. 


"Dalam suasana sistem sosial masyarakat Indonesia yang sangat rentan terhadap berbagai gejolak ini, sedikit pemicu saja sudah cukup menyebabkan berbagai konflik sosial," terang Afnan.


Hal tersebut sudah disadari oleh para pendiri negara ini. Namun, ternyata, tradisi masyarakat Yogyakarta yang mengedepankan tepo sliro maupun tenggang rasa yang diwariskan oleh nenek moyang ternyata memiliki kekuatan tersendiri dalam menjaga harmoni masyarakat yang majemuk.


"Dan nilai-nilai inilah yang melingkupi ide dan gagasan para pendiri negara kita yang dulunya merumuskan Pancasila maupun UUD 1945," urai Afnan.


Dikatakan Afnan, sejak kecil sudah ditempa dengan perbedaan suku dan bahasa. "Supaya bisa bersosialisasi dengan keadaan ini dan masyarakat timbul toleransinya," katanya.


Toleransi itu, kata Afnan yang juga cucu pahlawan nasional Ki Bagus Hadikusumo, harus dua belah pihak dan saling menghormati. 


Di sisi lain Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta, Drs Akhid Widi Rahmanto, menyampaikan, pluralisme merupakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting. "Dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi," kata Akhid. 


Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, lanjut Akhid, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. "Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar," ungkapnya.


Faktor yang membuat perbedaan-perbedaan itu terutama berasal dari ilmu-ilmu perilaku manusia (behavioral sciences) seperti sosiologi, antropologi dan psikologi. Kata Akhid, ilmu-ilmu sosial tersebut mempelajari dan menjelaskan kepada kita tentang bagaimana orang-orang berprilaku, mengapa mereka berprilaku demikian dan apa hubungan antara prilaku manusia dengan lingkungannya?


"Penyebab tersebut telah menimbulkan banyak konflik di dalam masayarakat. 


Akhir-akhir ini, di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan, dan pembunuhan," papar Akhid.


Konflik tersebut, kata Akhid, muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi maupun dalam hubungan kekuasaan. "Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik, tapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan," ungkapnya.


Bagi Akhid, kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung. "Untuk itu Yogyakarta sebagai kota pariwisata, kota pelajar dan kota budaya harus dapat menjaga agar tidak terjadi konflik dengan berlatar belakang agama, suku, ras dan antargolongan karena luka-lukanya akan sulit tersembuhkan," kata Akhid.


Sementara itu Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Yogyakarta, Hj. Rowiyah, menyampaikan, Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural di dunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan lebih dari 250 bahasa. "Karenanya, sebagaimana bangsa multi etnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik ke dalam kerangka persatuan nasional harus selalu menjadi perhatian kita semua," kata Rowiyah.(Fan/hms).

Editor: A.Wahidin

Bagikan melalui:

Komentar