Haedar Nashir : Pancasila Menjadikan Indonesia Jaya

Haedar Nashir : Pancasila Menjadikan Indonesia Jaya Affan Safani Adham Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

SINARPAGINEWS.COM, YOGYAKARTA - Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara resmi ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan lahirnya Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Terkait hal tersebut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengatakan, karenanya penting disadari ketika memperingati Pancasila perhatian bukan pada ritual peringatan. "Namun semestinya pada komitmen menjadikan nilai dasar Pancasila itu melalui pelaksanaan kelima silanya agar teraktualisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata," kata Haedar.

Menurut Haedar, jika Soekarno menyebutkan Pancasila sebagai “philosopische grondslag” (dasar filosofis) atau “Weltanschauung” (pandangan dunia), maka Dasar Negara tersebut harus menjadi pondasi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara secara struktural. "Artinya, betul-betul dijadikan nilai penting yang menjiwai dan sekaligus pemikiran mendasar dalam kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan bernegara,” jelas Haedar, Sabtu (1/6/2024), di Yogyakarta.

Pertanyaannya, apakah kehidupan berbangsa dan bernegara sejak Indonesia merdeka sampai saat ini telah mencerminkan dan merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila?
Dari sila pertama, apakah bangsa Indonesia benar-benar menjalani kehidupan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa? "Nilai keyakinan ketuhanan itu dikembalikan pada agama masing-masing yang dianut warga bangsa," kata Haedar.

Sehingga, kata Haedar, tidak menjadi bangsa yang antiagama (agnostik), antituhan (ateis) dan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan.
Bernegara pun niscaya mengindahkan nilai atau ajaran agama karena dalam pasal 29 UUD 1945 agama diakui keberadaannya oleh konstitusi. Bahkan, menurut Soekarno, Negara Indonesia itu sendiri harus “bertuhan”.
“Indonesia bukan negara agama, tetapi jangan bawa Indonesia menjadi negara sekuler yang menjauhi, menegasikan dan memusuhi agama," tandas Haedar.

Para penyelenggara dan pejabat negara, kata Haedar, wajib beragama dan menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya.
Kata Haedar, dalam mengurus negara harus takut kepada Tuhan, antara lain untuk tidak korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan dalam bentuk apapun serta tidak sekehendaknya dalam mengurus negara dan berbangsa.

“Negara dan pejabat maupun elite negeri harus bersendikan pada nilai kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab," ujar Haedar
Nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban mesti dijunjung tinggi, ditegakkan serta dipraktikkan dalam berbangsa dan bernegara. "Jangan demi mengejar segala kepentingan melanggar nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban," papar Haedar.

Termasuk beretika luhur dalam berbangsa dan bernegara. Warga bangsa, bahkan disurvei termasuk yang tingkat digility atau kesopanannya rendah dalam bermedia sosial.

Haedar juga menegaskan bahwa sila Persatuan Indonesia juga harus diwujudkan dalam kehidupan nyata berbangsa bernegara. "Jangan jadi slogan semata tentang Bhineka Tunggal Ika. Persatuan hanya diperlukan ketika sejalan dengan dan mendukung kepentingan serta golongan sendiri. Manakala menyangkut urusan dan kepentingan sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, partai sendiri dan hal-hal sempit atau ego sendiri kemudian mengorbankan pihak lain sesama komponen bangsa," ungkap Haedar.

Pihak yang mendukung dirangkul dan dimanjakan dengan segala keistimewaan. Sebaliknya, yang kritis atau tidak mendukung dipukul dan disisihkan atau dipinggirkan. "Persatuan Indonesia diuji ketika masing-masing pihak memiliki kepentingannya sendiri, apakah bersedia berbagi dan peduli? Jangan sampai praktik siapa kuat, siapa menang serta siapa mendapatkan dalam bernegara karena sejatinya mengoyak nilai persatuan Indonesia," tutur Haedar.

Sila keempat, kata Haedar, sama pentingnya dalam berbangsa dan bernegara. "Termasuk dalam berpolitik dan berdemokrasi," tandasnya.
Bagaimana nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan? Menurut sejumlah ahli dan praktik di kehidupan nyata, politik dan demokrasi Indonesia sudah sangat liberal.

“Para aktor baik institusi maupun elitnya terbiasa pragmatis dan oportunistik, demi meraih dan mewujudkan kepentingannya apa saja dihalalkan, termasuk mengakali konstitusi dan peraturan," kata Haedar.

Hukum pun disalahgunakan dan disiasati demi kepentingan politik sesaat. Warga bangsa pun terbiasa pragmatis dan oportunistik. "Karenanya, politik dan demokrasi Indonesia kehilangan jiwa hikmah kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan," ungkap Haedar.

Dikatakan Haedar, sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia lebih terlantar. Pihak yang memiliki kekuatan politik, ekonomi dan akses dalam negara makin menguasai Indonesia. "Sementara mayoritas rakyat yang lemah makin terlemahkan," kata Haedar.
Kesenjangan sosial dan kemiskinan, lanjut Haedar, masih menjadi realitas di negeri ini. Sementara, oligarki politik dan oligarki ekonomi makin menjerat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di Republik ini.

Padahal, menurut Bung Karno, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. "Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu," kata Haedar.
Sumber daya alam harus dimanfaatkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya untuk hajat hidup orang banyak, demi keadilan dan kemakmuran bersama seluruh rakyat Indonesia.

“Karenanya Pancasila jangan terus dislogankan, diteriakkan, disimbolisasikan, apalagi dikeramatkan dengan gempita," kata Haedar.
Pancasila tidak untuk disakralkan dan diglorifikasi dengan paham puritan dan fanatik buta, yang melahirkan pandangan ultranasionalisme. "Tanpa perwujudan di dunia nyata dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Haedar.

Haedar juga menuturkan bahwa berbagai slogan, retorika dan jargon menawan tentang Pancasila juga akan kehilangan sukma jika tidak disertai komitmen sistem dan manusianya untuk mewujudkan kelima sila Pancasila dalam berbangsa-bernegara.
"Jangan biarkan Pancasila jadi retorika dan teori utopia yang mengawang di angkasa, namun kehilangan pijakan dan bukti nyata di bumi Indonesia," papar Haedar.

Apalagi, Pancasila sekadar jadi kemegahan simbol tanpa makna. Untuk menjadikan Pancasila terwujud nyata dalam berindonesia, yakni berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijakaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Seluruh pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik dan institusi pemerintahan maupun komponen bangsa lainnya wajib hukumnya ber-Pancasila dalam kehidupan nyata. "Itulah Pancasila kata kerja, bukan Pancasila kata benda. Pancasila yang akan menjadikan Indonesia jaya menuju cita-cita yang ditorehkan para pendiri negara!,” pungkas Haedar. (Fan)

Editor: Red

Bagikan melalui:

Komentar